Rabu, 17 Maret 2010

PERENCANAAN PROSES PEMBELAJARAN MA

PERENCANAAN PROSES PEMBELAJARAN MA

Rumusan Kompetensi :

Mengembangkan potensi peserta didik agar maju dalam iptek dan mantap dalam imtaq, serta memproduk lulusan yang bisa masuk keperguruan tinggi umum dan agama, serta dapat diterima bekerja sesuai dengan kebutuhan pasar.

Subject Matter:

1. Pendidikan Al Quran dan Hadis

Kompetensi : Memahami dan mengamalkan kandungan al Quran dan Hadis

Tujuan Pembelajaran : Mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil, pandai, baca tulis al Quran, berakhlak mulia, mengerti dan memahami serta mengamalkan kandungan al Quran dan Hadis.

2. Pendidikan Fiqih

Kompetensi : Memahami dan mengamalkan perbuatan sesuai dengan hokum-hukum syar’i (Islam).

Tujuan Pembelajaran : Peserta didik dapat memahami dan mengamalkan perbuatan yang susuai dengan hukum-hukum Islam yang bersumber dari Quran dan Hadis.

3. Pendidikan Akidah Akhlaq

Kompetensi : Memahami konsep akhlak dalam Islam dan mengamalkannya, serta memahami dan menerapkan akidah yang benar.

Tujuan Pembelajaran : Pserta didik mampu bergaul sesuai dengan konsep akhlak dalam islam dan mampu menerapkan serta mengukuhkan aqidah yang benar.

4. Sejarah Kebudayaan Islam

Kompetensi : mengetahui dan mengambil hikmah dari perkembangan masyarakat masa lampau hingga masa kini.

Tujuan Pembelajaran : Pesrta didik mampu mengambil hikmah/nilai-nilai yang dapat diambil dari Sejarah Kebudayaan Islam dan mengamalkannya.

5. Bahasa Arab

Kompetensi : Membaca, menyimak, berbicara dan menulis dalam bahasa Arab.

Tujuan Pembelajaran : Siswa dapat membaca, menyimak, berbicara, dan menulis dalam bahasa Arab dengan baik dan benar.

6. Bahasa Inggris

Kompetensi : Membaca, menyimak, berbicara, dan menulis dalam Bahasa Inggris sebagai lanjutan dari pengajaran bahasa inggris di jenjang pendidikan sebelumnya.

Tujuan Pembelajaran : Siswa mampu membaca, menyimak, berbicara, dan menulis dalam bahasa inggris yang diperlukan untuk menunjang penyerapan dan pengembangan Iptek.

7. Matematika

Kompetensi : Mengetahui dan menggunakan berbagai kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari.

Tujuan Pembelajaran : Peserta didik dapat mengetahui dan menggunakan berbagai kegunaan matematika untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.

8. Sains

Kompetensi : Mengetahui dan menggunakan berbagai kegunaan sains dalam kehidupan sehari-hari.

Tujuan Pembelajaran : Siswa dapat mengetahui dan menggunakan berbagai kegunaan sains untuk menyelaikan permasalahan sehari-hari.

9. Penjaskes

Kompetensi : Memahami dan mengamalkan cara hidup yang sehat.

Tujuan Pembelajaran : Peserta didik dapat memahami pentingnya hidup sehat dan mau mengamalkannya.

10. Ilmu Sosial

Kompetensi : Memahami dan menyelesaikan berbagai persoalan dalam kehidupan sehari-hari yang sering muncul seiring dengan perubahan masyarakat.

Tujuan Pembelajaran : Peserta didik dapat memahami berbagai persoalan dalam masyarakat dan mengamalkan perilaku sesuai dengan norma/nilai sosial dalam masyarakat.

11. TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi)

Kompetensi : Memahami dan menerapkan berbagai ketrampilan menggunakan alat-alat teknologi untuk bekerja di masyarakat langsung.

Tujuan Pembelajaran : Siswa dapat mengoperasikan berbagai ketrampilan menggunakan alat-alat teknologi untuk bekerja di masyarakat dengan mahir

12. Bahasa Indonesia

Kompetensi : Memahami dan mengamalkan berbahasa secara tepat dan kreatif.

Tujuan Pembelajaran : Peserta didik mampu berbahasa Indonesia secara tepat dan kreatif serta meningkatkan rasa bangga terhadap bahasa Indonesia.

13. Pendidikan Seni

Kompetensi : Menampilkan ketrampilan berolah seni.

Tujuan Pembelajaran : Siswa dapat menampilkan berbagai ketrampilan dalam berolah seni dan mengembangkannya.

14. Pendidikan Kewarganegaraan

Kompetensi : Memahami dan mengamalkan perilaku yng berdasarkan pada nilai-nilai dasar dan norma Pancasila serta penjabarannya.

Tujuan Pembelajaran : Peserta didik dapat mengamalkan perilaku sesuai dengan nilai dan norma Pancasila, nilai luhur yang berakar pada budaya bangsa Indonesia, dan nilai moral agama.

15. Bahasa Jawa

Kompetensi : Memahami dan mengamalkan berbahasa Jawa dengan baik dan benar serta melestarikannya sebagai salah satu keunggulan potensi daerah.

Tujuan Pembelajaran : Siswa dapat mengembangkan dan mengamalkan berbahasa Jawa dengan baik dan benar serta melestarikannya sebagai salah satu keunggulan potensi daerah

Hidden Curriculum

a) Mengucapkan salam ketika bertemu dengan guru.

b) Membiasakan sholat berjamaah di musholla sekolah, baik dengan temen, guru, atau staf lain.

c) Mengadakan pengajian rutin seminggu sekali.

d) Membaca asmaul husna ketika akan memulai pelajaran.

e) Mengakhiri pelajaran dengan membaca hamdalah bersama.

f) Bersalaman dengan guru ketika akan pulang dari sekolah.

g) Bagi murid laki-laki mengenakan peci dan bagi murid perempuan mengenakan jilbab.

h) Ruang kelas laki-laki dan perempuan dipisah.

i) Tadarus al Quran ketika pelajaran Quran Hadis akan dimulai.

TASAWUF DAN SPIRITUALITAS

TASAWUF DAN SPIRITUALITAS

A. Latar Belakang Masalah

Tasawuf adalah bagian dari syari'at Islamiah, yakni wujud dari ihsan, salah satu dari tiga kerangka ajaran Islam (iman, Islam, dan ihsan). Oleh karena itu perilaku tasawuf harus tetap berada dalam kerangka syari'at Islam. Tasawuf sebagai perwujudan dari ihsan, yang berarti beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, apabila tidak mampu demikian, maka harus disadari bahwa Dia melihat diri kita, adalah kualitas penghayatan seseorang terhadap agamanya. Dengan demikian tasawuf sebagaimana mistisisme pada umumnya, bertujuan membangun dorongan-dorongan yang terdalam pada diri manusia. Yaitu dorongan untuk merealisasikan diris ecara menyeluruh sebagai makhluk, yang secara hakiki adalah bersifat kerohanian dan kekal. Tidak sekedar asoteris, ganjil dan hayali, tetapi justru sublim, universal dan benar-benar praktis. Ia mempunyai potensi besar karena mampu menawarkan pembebasan spiritual, mengajak manusia mengenal dirinya sendiri, dan akhirnya mampu mengenal Tuhannya. Hal ini merupakan pegangan hidup yang paling terpercaya, sehingga manusia tidak terombang-ambing saat diterpa badai kehidupan. Ia menuntun manusia menuju hidup yang bermoral, sehingga mampu menunjukka eksistensinya sebagai makhluk termulia di muka bumi.[1]

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah pemakalah dapat menarik pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengertian tasawuf dan spiritualitas ?

2. Bagaimana peranan atau tanggung jawab tasawuf dalam spiritualitas ?

C. Pembahasan

1. Pengertian Tasawuf dan Spiritualitas

Secara etimologis, para ahli berselisih pendapat tentang asal kata tasawuf. Sebagian menyatakan bahwa kata tasawuf berasal dari shuffah yang berarti emper masjid Nabawi yang didiami oleh sebagian sahabat Anshar. Ada pula yang mengatakan berasal dari shaf, yang berarti barisan. Seterusnya ada yang mengatakan berasal dari shafa, yang berarti bersih/jernih, dan masih ada lagi yang mengatakan berasal dari kata shufa-nah, yakni nama kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir. Terakhir ada yang mengatakan berasal dari bahasa Yunani theosofi, yang berarti ilmu ketuhanan. Namun yang terakhir ini penulis tidak setuju. Penulis cenderung pada pendapat yang mengatakan bahwa kata tasawuf berasal dari shuf (bulu domba). Selanjutnya orang yang berpakaian bulu domba disebut mutashawwif, perilakunya disebut tasawuf.[2]

Sedangkan secara terminologi para ulama berbeda pendapat tentang arti serta asal-usul kata tasawuf, namun yang paling tepat adalah berasal dari kata shuf (bulu domba), baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap kesederhanaan, maupun aspek kesejarahan. Tetapi yang dimaksud bulu domba di sini bukanlah pengertian modern, yaitu pakaian bergengsi yang hanya dipakai oleh orang-orang kaya, melainkan kain kasar yang dipakai oleh orang-orang miskin di Timur Tengah pada zaman dahulu. Orang-orang sufi ingin hidup sederhana dan menjauhi keduniaan, sehingga mereka hidup sebagai orang-orang miskin dengan memakai kain kasar tersebut.[3]

Adapun spiritualitas berasal dari kata spiritual yang artinya orang yang melakukan ajaran agama.[4] Artinya orang yang hanya menjalankan perintah agama sesuai dengan ajaran yang diyakininya, dalam hal ini adalah agama Islam.

2. Peranan atau Tanggung Jawab Tasawuf dalam Spiritualitas

Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa tasawuf mempunyai peranan atau tanggung jawab yang sangat besar dalam spiritualitas seseorang. Oleh karena itu, Husen Nasr dalam Islam and the Pligh of Modern Man yang dikutip oleh Komaruddin Hidayat, menyatakan bahwa akibat masyarakat modern yang mendewa-dewakan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan mereka berada dalam wilayah pinggiran eksistensinya sendiri, bergerak menjauh dari pusat, sementara pemahaman agama yang berdasarkan wahyu mereka tinggalkan, hidup dalam keadaan sekuler. Masyarakat yang demikian adalah masyarakat Barat yang dikatakan the post industrial society tela kehilangan visi keilahian. Masyarakat yang demikian ini telah tumpul penglihatan intelektusnya dalam melihat realitas hidup dan kehidupan.[5]

Kehilangan visi keilahian ini bisa mengakibatkan timbulnya gejala psikologis, yakni adanya kehampaan spiritual. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta filsafat rasionalisme tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia dalam aspek nilai-nilai transenden, satu kebutuhan vital yang hanya bisa digali dari sumber wahyu ilahi. Akibat dari itu, maka tidak heran kalau akhir-akhir ini banyak dijumpai orang yang stres dan gelisah, karena tidak mempunyai pegangan hidup. Dari mana, akan ke mana dan untuk apa hidup ini ?[6]

Melihat gejala manusia modern yang penuh problema tersebut, Husen Nasr, seorang ulama Iran menawarkan alternative terapi agar mereka mendalami dan menjalankan praktik tasawuf. Sebab tasawuflah yang dapat memberikan jawaban-jawaban terhadap kebutuhan spiritual mereka. Dalam pandangan tasawuf, penyelesaian dan perbaikan keadaan itu tidak dapat tercapai secara optimal jika hanya dicari dalam kehidupan lahir, karena kehidupan lahir hanya merupakan gambaran atau akibat dari kehidupan manusia yang digerakkan oleh tiga kekuatan pokok yang ada pada dirinya, yaitu akal, syahwat, dan nafsu amarah. Jika ketiganya dapat diseimbangkan, maka hidup manusia akan menjadi normal. Dengan kata lain perdamaian itu terletak pada perseimbangan.[7]

Tanggung jawab tasawuf bukanlah dengan melarikan diri dari kehidupan dunia nyata, sebagaimana dituduhkan oleh sementara orang yang kurang setuju terhadap tasawuf, akan tetapi ia adalah suatu usaha mempersenjatai diri dengan nilai-nilai rohaniah yang baru, yang akan membentangi diri saat menghadapi problema hidup dan kehidupan yang serba materialistik, dan berusaha merealisasikan keseimbangan jiwa sehingga timbul kemampuan menghadapi beragam problem tersebut dengan sikap jantan.

Dalam tasawuf terdapat prinsip-prinsip positif yang mampu mengembangkan masa depan manusia, seperti melakukan instropeksi (muhasabah) baik dalam kaitannya dengan masalah-masalah vertikal maupun horizontal, kemudian meluruskan hal-hal yang kurang baik. Selalu berdzikir (dalam arti yang seluas-luasnya) kepada Allah SWT, sebagai sumber gerak, sumber kenormatifan, sumber motivasi dan sumber nilai yang dapat dijadikan acuan hidup. Dengan demikian, seseorang bisa selalu berada di atas sunnatullah dan shirath al-mustaqim.[8]

D. Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tasawuf dan spiritualitas merupakan mata rantai yang tak bisa dilepaskan, artinya seseorang dalam melakukan spiritualitas tanpa adanya tasawuf yang dimilikinya maka orang tersebut tidak akan tahu kemana hidup ini akan dibawanya. Sebaliknya jika seseorang melakukan spiritualitas dengan menggunakan atau setidaknya menyeimbangkan dengan tasawuf, maka orang tersebut akan tahu kemana arah hidup ini akan dijalankannya. Oleh karena itu, dalam kehidupan seseorang dalam menjalankan hidupnya atau menentukan hidupnya yang sesuai dengan ajaran agama, haruslah menggunakan adanya tasawuf dan spiritual yang seimbang, agar visi keilahiannya tidak dihilangkan gara-gara adanya zaman yang serba modernisasi ini.

E. Penutup

Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, apabila ada kekurangan dan kesalahan dalam menulis dan menerangkan kami minta maaf serta dengan senang hati kami menerima SMS (saran, masukan dan solusi) yang bersifat konstruktif guna perbaikan makalah yang akan datang. Akhir kata, semoga bermanfaat dan menambah khazanah bagi kita semua. Amiiin.

Daftar Pustaka

Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999.

Jalaluddin Rakhmad, et, al, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, Paramadina, Jakarta, 1996.

Komaruddin Hidayat, Agama-agama Masa Depan, Paramadina, Jakarta, 1995.

Masyharuddin, Tasawuf Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999.

Simuh, et, al, Tasawuf dan Krisis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001.


[1]Masyharuddin, Tasawuf Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hlm. 7.

[2]Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hlm. 8.

[3]Ibid, hlm. 11.

[4]Jalaluddin Rakhmad, et, al, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, Paramadina, Jakarta, 1996, hlm. 58.

[5]Komaruddin Hidayat, Agama-agama Masa Depan, Paramadina, Jakarta, 1995, hlm. 85.

[6]Simuh, et, al, Tasawuf dan Krisis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm. 107.

[7]Ibid, hlm. 87.

[8]Amin Syukur, Op. Cit, hlm. 114.

TEORI BELAJAR SISTEMATIK FUNGSIONAL


TEORI BELAJAR SISTEMATIK FUNGSIONAL

I. Pendahuluan

Kegiatan belajar mengajar anak adalah sebagai subyek dan sebagai obyek dari kegiatan pengajaran. Karena itu, inti proses pengajaran tidak lain adalah kegiatan belajar anak didik dalam mencapai suatu tujuan pengajaran. Tujuan pengajaran tentu saja akan dapat tercapai jika anak didik berusaha secara aktif untuk mencapainya. Keaktifan anak disini tidak hanya dituntut dari segi fisik, tetapi juga dari segi kejiwaan, bila hanya fisik anak yang aktif, tetapi fikiran dan mentalnya kurang aktif maka kemungkinan besar tujuan pembelajaran tidak tercapai, ini sama halnya anak tidak belajar, karena anak didik tidak menanyakan perubahan di dalam dirinya. Padahal belajar pada hakekatnya adalah ”perubahan” yang terjadi di dalam diri seseorang setelah berakhirnya melakukan aktivitas belajar walaupun pada kenyataannya tidak semua perubahan termasuk kategori belajar, misalnya: perubahan fisik, mabuk, gila, dan sebagainya.[1]

II. Permasalahan

Adapun pokok permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

  1. Apa yang dimaksud dengan teori belajar ?
  2. Apa saja macam-macam teori belajar ?
  3. Bagaimana hubungan teori belajar dalam Fiqih ?

III. Pembahasan

A. Pengertian Teori Belajar

Secara etimologi, teori berasal dari bahasa Belanda yaitu “Theore” yang artinya pendapat berdasarkan pikiran sedangkan secara terminologi, teori yaitu hasil konsepsi berpikir manusia tentang suatu peristiwa berdasarkan fakta-fakta yang empiris dan logis.[2]

Belajar merupakan kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan.[3]

Jadi, teori belajar adalah prinsip umum atau kumpulan prinsip umum,atau kumpulan prinsip yang yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar[4].

B. Macam-Macam Teori Belajar

1. Teori Beharioristik

Menurut teori ini belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu apabila ia mampu meunjukkan perubahan tingkah laku.[5]

2. Teori Humanistik

Fokus dari teori ini memanusiakan manusia artinya tiap orang ditentukan oleh orag itu sendiri dan bagaimana ia memahami perilaku seseorang ditentukan oleh orang itu sendiri dan bagaimana dia memahami dirinya dan bagaimana dia memahami,memandang lingkunganya.[6]

Teori Belajar Menurut Para Ahli

1. Teori Koneksionisme

Teori ini dikembangkan oleh Edward L. Thoorndike yang di dasarkan pada eksperimennya tentang perilaku hewan (kucing) dalam mencari makan saat lapar.

Berdasarkan eksperimen itu, berksimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respon.

2. Teori Pembiasan Klasik (Klassical Cinditining)

Teori ini berkembang berdasrakan eksperimen dari Ivan Pavlov, pada dasarnya classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut.

3. Teori Operant Conditioning

Menurut Skinner, be;ajar adalah proses perubahan tingkah laku yang harus dapat diukur. Bila pembelajar (peserta didik) berhasil belajar, maka respon bertambah, tetapi bila tidak belaja bayaknya respon berkurang, sehingga secara formal hasil belajar harus bisa diamati dan diukur.

4. Teori Conditioning of Leraning

Teori ini ditemukan oleh Gagne yang di dasrkan atas hasil riset tentang faktor-faktor yang kompleks pada proses belajar manusia. Penelitian ini di maksudkan untuk menemukan teori pembelajaran yang efektif.

Belajar menurut Gagne adalah mekanisme dimana seseorang menjadi anggota masyarakat yang berfungsi secara kompleks.[7] Kategori belajar menurut Gagne:

a) Verbal Information

Kapabilitas untuk mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lesan maupun tulisan.

b) Intelellectual Skill

Kecakapan yang berfungsi untuk berhubungan dengan lingkungan hidup serta mempresentasikan konsep dan lambang.

c) Cognitive Strategi

Kemampuan menyalurkan dan mengarahkan aktifitas kognitifnya sendiri.

d) Ketrampilan Motorik

Kemampuan melakukan rangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani.

e) Attitude

Kemampuan menerima atau menolak obyek berdasrkan penilaian terhadap obyek berdasarkan penilaian terhadap obyek tersebut.[8]

5. Teori Perkembngan Kognitif

Menurut Pieget, pengetahuan (knowled) adalah interaksi yang terus menerus antara individu dengan lingkungan. Fokus perkembangan kognitif Pieget adalah perkembangan secara alami fikiran pembelajar mulai dari amak-anak sampai dewas. Konsepsi perkembangan kognitif Pieget, diturunkan dari analisa perkembangan biologi organisme tertentu. Menurut Pieget, Intelegen (IQ=kecerdasan) adalah seperti system kehidupan lainnya, yaitu proses adaptasi.

6. Teori Belajar Sosial (Social Learning Theori)

Dikembangkan oleh Albert Bandura, teori ini di kembangkan untuk menjelaskan bagaimana orang belajar dalam dalam setting yang alami/lingkungan sebenarnya.[9]

Dalam pendidikan, terutama tujuan Fiqih yang perlu di capai dapat di kategorikan menjadi tiga bidang yaitu bidang kognitif (Penguasaan intelektual), bidang efektif (Berhubungan dengan sikap dan nilai), serta bidang psikomotor (Kemampuan dan ketrampilan bertindak/berperilaku). Ketiga bidang ini berdiri sendiri, tapi merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.[10]

a. Bidang Kognitif (Penguasaan Intelektual)

Menurut Bloom, dkk. Terdiri dari enam perilaku yaitu:

1) Pengetahuan

2) Pemahaman

3) Penerapan

4) Analisis

5) Sintesis

6) Evaluasi

b. Bidang Afektif (Berhubungan dengan sikap dan nilai)

Menurut Krathwohl dan bloom terdiri dari lima perilaku yaitu :

1) Penerimaan

2) Partisipasi

3) Penilaian/penentuan sikap

4) Organisasi

5) Pembentukan pola hidup

c. Bidang Psikomotor

Menurut Simpson terdiri dari tujuh jenis perilaku yaitu :

1) Persepsi

2) Kesiapan

3) Gerakan terbimbing

4) Gerakan yang terbiasa

5) Gerakan kompleks

6) Penyesuaian pola gerakan

7) Kreatifitas[11]

  1. Hubungan Teori Belajar dalam Fiqih

Dalam belajar, yang melakukan belajar adalah siswa, oleh karena itu siswa harus aktif tidak boleh pasif. Dengan bantuan guru siswa harus mampu mencari, menemukan dan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya. Siswa harus dipandang sebagai makhluk yang dapat diajar dan mampu belajar. Ia telah dilengkapi seperangkat kemampuan potensial baik fisik maupun psikologis. Dengan pandangan seperti ini seyogyanya guru membelajarkan siswa sedemikian rupa sehingga keaktifan siswa betul-betul terwujud.[12]

Dalam dunia pendidikan dan pengajaran, ajakan kepada anak didik agar aktif dalam kegiatan belajar mengajar bukanlah merupakan masalah baru. Namun merupakan masalah yang telah diupayakan sejak lama. Menurut teori pengajaran, keikutsertaan secara aktif dari anak didik dalam kegiatan belajar mengajar merupakan konsekuensi logis dari pengajaran yang sebenarnya. Bahkan merupakan faktor penting dalam hakekat kegiatan belajar mengajar, sebab suatu pengajaran tidak akan berlangsung dengan berhasil tanpa keaktifan anak didik. Hanya yang membedakan adalah kadar keaktifan anak didik dalam belajar. Dalam proses belajar mengajar dituntut untuk menerapkan teknologi yang dapat memancing optimalisasi keaktifan anak didik dalam belajar. Oleh karena itu diperlukan pendekatan yang berorientasi pada keaktifan siswa.[13]

Kaitannya dengan Fiqih, bahwa teori belajar mempunyai hubungan ini terletak pada aspek psikomotori, karena di dalam mempraktekkan dalam kegiatan belajar mengajar.

IV. Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa teori belajar sistematik fungsional terkait dengan Fiqih terletak pada aspek psikomotorik yang mana di dalamnya menerangkan adanya persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan yang terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola gerakan, dan kreatifitas.

Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, apabila ada kekurangan dan kesalahan kami minta maaf. Dengan senang hati kami menerima saran, masukan dan solusi (SMS) yang bersifat konstruktif. Akhir kata, semoga bermanfaat dan menambah khazanah bagi kita semua. Amiin

Daftar Pustaka

Syamsul Bahri Djamarah dan Asnawi Zaini, Strategi Belajar Mengajar, Rineka Cipta, Jakarta, 2002.

Yulius S, et, al, Kamus Baru Bahasa Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya, 1998.

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000.

one-indoskripsi.com

Apa definisinya, Blogspot.com

http://blogs.Unpad.ac.id

Dimyati, Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1994.

http:// bl0gs.Unpad.ac.id

Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2000.

Darsono, et, al, Belajar dan Pembelajaran, IKIP Semarang Press, Semarang, 2000.

Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.


[1]Syamsul Bahri Djamarah dan Asnawi Zaini, Strategi Belajar Mengajar, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm. 44.

[2]Yulius S, et, al, Kamus Baru Bahasa Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya, 1998, hlm. 268.

[3]Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hlm. 89.

[4]Ibid, hlm. 105.

[5]one-indoskripsi.com

[6]Apa definisinya, Blogspot.com

[7]Muhibbin Syah, Op. Cit., hlm. 105-106.

[8]http://blogs.Unpad.ac.id

[9]Dimyati, Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 11-12.

[10]http:// bl0gs.Unpad.ac.id

[11]Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2000, hlm. 49.

[12]Darsono, et, al, Belajar dan Pembelajaran, IKIP Semarang Press, Semarang, 000, hlm. 28.

[13]Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 111.

PROSES LAHIRNYA IJMA'


PROSES LAHIRNYA IJMA'

Ijma' dalam sejarah Islam yang aktual adalah suatu proses alamiah bagi penyelesaian persoalan melalui pembentukan pendapat mayoritas dalam umat secara bertahap. Setelah Rasulullah SAW wafat dan wahyu berhenti turun, muncullah kebutuhan untuk membatasi kemungkinan salah dalam ijtihad. Bagi kita, nampaknya gagasan ijma' muncul sebagai kebutuhan sosio-politik yang kemudian direstui pada masa-masa kemudia atas dasar ayat-ayat al Qur'an dan tradisi Rasulullah SAW. Kami kira, tidak ada konsep ijma' an sich seperti pada masa hidup Rasulullah SAW. Alasannya adalah bahwa wahyu dan ucapan Rasulullan SAW merupakan kata pemutus bagi persoalan-persoalan yang muncul pada masa beliau masih hidup. Karena itu, nampaknya wajar bila konsep tersebut muncul ketika kaum muslimin dihadapkan pada persoalan-persoalan baru. Pada waktu-waktu inilah tentunya lalu dirasakan perlunya memastikan ketepatan jawaban mereka terhadap persoalan-persoalan tersebut, yang didasarkan pada pendapat pribadi. Contoh praktis yang pertama mengenai ijma' setelah wafatnya Rasulullah SAW yang kejadian Saqifah bani Sa'idah. Dalam majelis ini, pendapat Umar ibnu Khattab berkaitan dengan pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah diterima oleh kaum muslimin yang hadir di tempat itu dan kemudian diakui oleh umat. Dapat dipastikan bahwa gagasan ijma' memperoleh ekspresi dalam kejadian tersebut; meskipun demikian, ini juga tidak memberikan landasan ataupun rumusan teknis bagi konsep ijma' ini. Pada umumnya, persoalan-persoalan muncul dan jawabannya dicari oleh kaum muslimin dengan dasar ra'y yang dijamin oleh persetujuan diam-diam dari umat. Pendapat pribadi para sahabat, terutama pendapat Umar, dalam masalah-masalah hukum, dikemudian hari diterima sebagai ijma' para sahabat. Jadi, ijma' bermula dari pendapat pribadi perseorangan (atau ijtihad) dan berpuncak pada penerimaan persetujuan universal oleh umat atau suatu pendapat tertentu dalam jangka panjang. Ijma' mucul dengan sendirinya, dan tidak dipaksakan kepada umat.

Dalam pandangan para ahli hokum, bahwa ijma' secara justifiksi validitas didasarkan atas ayat al Qur'an (3:103) dan (4:115) dan mengutip sejumlah tradisi dari Rasulullah SAW. Ayat al Qur'an yang dikutip untuk mendukung ijma' merujuk pada perilaku umum dari kaum muslimin dan persatuan mereka, dan bukannya pada consensus kaum muslimin dalam bidang hukum, khususnya dalam pengertian teknisnya. Ayat-ayat ini pada mulanya tidaklah dipahami oleh Rasulullah SAW maupun oleh para sahabat sebagai satu argument yang mendukung ijma'.

Selain mengutip dari ayat al Qur'an, ijma' juga dapat dijustifikasikan melalui hadits. Dalam abad ke-2 Hijrah, al Syafi'i mengutip sejumlah hadits dari Rasulullah SAW yang menguatkan prinsip ijma', tetapi ia tidak berbicara apa-apa mengenai hadits. Ia hanya menyatakan: "Kita tahu bahwa orang banyak tidak akan bersepakat dalam hal yang bertentangan dengan sunnah Rasul ataupun dala suatu kesalahan". Sulit untuk mengatakan apakah al Syafi'i dalam pikirannya mengenai hadits tersebut di atas dan merujuk dengan pernyataan itu. Tetapi jika seandainya ia mengetahui hadits tersebut, tentu ia akan mengutipnya bersama dengan tradisi-tradisi yang lain.

Dalam pandangan para cendekiawan Islam, bahwa ijma' tak ada hubunganya dengan opinion prudentium dalam hukum Romawi, malahan sangat berbeda dalam beberapa aspeknya. Pertama, dalam Islam, tak pernah umat ataupun otoritas lain yang diketahui, memberikan wewenang kepada para ulama. Kedua, setiap muslim yang memiliki kemampuan untuk menafsirkan hukum berhak untuk memikir dan menafsir ulang hukum. Sehingga kebebasan untuk menafsirkan hukum dan mengkritik consensus para ulama, yang ada dalam Islam, tidak terdapat dalam hukum Romawi. Untuk memperjelas lebih jauh ide tentang ijma'.

Jadi, dalam Islam, ijma' merupakan proses yang terus berlanjut dan kegiatan yang kontinue, serta berubah bersamaan dengan berubahnya keadaan. Dalam keadaan bagaimanapun juga, tidak ada dan tak pernah ada suatu badan dalam Islam yang pendapat-pendapatnya dapat dinyatakan sebagai opinio prudentium, semata-mata karena memang Islam tidak menetapkan lembaga demikian.