Rabu, 17 Maret 2010

PROSES LAHIRNYA IJMA'


PROSES LAHIRNYA IJMA'

Ijma' dalam sejarah Islam yang aktual adalah suatu proses alamiah bagi penyelesaian persoalan melalui pembentukan pendapat mayoritas dalam umat secara bertahap. Setelah Rasulullah SAW wafat dan wahyu berhenti turun, muncullah kebutuhan untuk membatasi kemungkinan salah dalam ijtihad. Bagi kita, nampaknya gagasan ijma' muncul sebagai kebutuhan sosio-politik yang kemudian direstui pada masa-masa kemudia atas dasar ayat-ayat al Qur'an dan tradisi Rasulullah SAW. Kami kira, tidak ada konsep ijma' an sich seperti pada masa hidup Rasulullah SAW. Alasannya adalah bahwa wahyu dan ucapan Rasulullan SAW merupakan kata pemutus bagi persoalan-persoalan yang muncul pada masa beliau masih hidup. Karena itu, nampaknya wajar bila konsep tersebut muncul ketika kaum muslimin dihadapkan pada persoalan-persoalan baru. Pada waktu-waktu inilah tentunya lalu dirasakan perlunya memastikan ketepatan jawaban mereka terhadap persoalan-persoalan tersebut, yang didasarkan pada pendapat pribadi. Contoh praktis yang pertama mengenai ijma' setelah wafatnya Rasulullah SAW yang kejadian Saqifah bani Sa'idah. Dalam majelis ini, pendapat Umar ibnu Khattab berkaitan dengan pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah diterima oleh kaum muslimin yang hadir di tempat itu dan kemudian diakui oleh umat. Dapat dipastikan bahwa gagasan ijma' memperoleh ekspresi dalam kejadian tersebut; meskipun demikian, ini juga tidak memberikan landasan ataupun rumusan teknis bagi konsep ijma' ini. Pada umumnya, persoalan-persoalan muncul dan jawabannya dicari oleh kaum muslimin dengan dasar ra'y yang dijamin oleh persetujuan diam-diam dari umat. Pendapat pribadi para sahabat, terutama pendapat Umar, dalam masalah-masalah hukum, dikemudian hari diterima sebagai ijma' para sahabat. Jadi, ijma' bermula dari pendapat pribadi perseorangan (atau ijtihad) dan berpuncak pada penerimaan persetujuan universal oleh umat atau suatu pendapat tertentu dalam jangka panjang. Ijma' mucul dengan sendirinya, dan tidak dipaksakan kepada umat.

Dalam pandangan para ahli hokum, bahwa ijma' secara justifiksi validitas didasarkan atas ayat al Qur'an (3:103) dan (4:115) dan mengutip sejumlah tradisi dari Rasulullah SAW. Ayat al Qur'an yang dikutip untuk mendukung ijma' merujuk pada perilaku umum dari kaum muslimin dan persatuan mereka, dan bukannya pada consensus kaum muslimin dalam bidang hukum, khususnya dalam pengertian teknisnya. Ayat-ayat ini pada mulanya tidaklah dipahami oleh Rasulullah SAW maupun oleh para sahabat sebagai satu argument yang mendukung ijma'.

Selain mengutip dari ayat al Qur'an, ijma' juga dapat dijustifikasikan melalui hadits. Dalam abad ke-2 Hijrah, al Syafi'i mengutip sejumlah hadits dari Rasulullah SAW yang menguatkan prinsip ijma', tetapi ia tidak berbicara apa-apa mengenai hadits. Ia hanya menyatakan: "Kita tahu bahwa orang banyak tidak akan bersepakat dalam hal yang bertentangan dengan sunnah Rasul ataupun dala suatu kesalahan". Sulit untuk mengatakan apakah al Syafi'i dalam pikirannya mengenai hadits tersebut di atas dan merujuk dengan pernyataan itu. Tetapi jika seandainya ia mengetahui hadits tersebut, tentu ia akan mengutipnya bersama dengan tradisi-tradisi yang lain.

Dalam pandangan para cendekiawan Islam, bahwa ijma' tak ada hubunganya dengan opinion prudentium dalam hukum Romawi, malahan sangat berbeda dalam beberapa aspeknya. Pertama, dalam Islam, tak pernah umat ataupun otoritas lain yang diketahui, memberikan wewenang kepada para ulama. Kedua, setiap muslim yang memiliki kemampuan untuk menafsirkan hukum berhak untuk memikir dan menafsir ulang hukum. Sehingga kebebasan untuk menafsirkan hukum dan mengkritik consensus para ulama, yang ada dalam Islam, tidak terdapat dalam hukum Romawi. Untuk memperjelas lebih jauh ide tentang ijma'.

Jadi, dalam Islam, ijma' merupakan proses yang terus berlanjut dan kegiatan yang kontinue, serta berubah bersamaan dengan berubahnya keadaan. Dalam keadaan bagaimanapun juga, tidak ada dan tak pernah ada suatu badan dalam Islam yang pendapat-pendapatnya dapat dinyatakan sebagai opinio prudentium, semata-mata karena memang Islam tidak menetapkan lembaga demikian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar