Rabu, 17 Maret 2010

AL-QUR'AN DAN SUNNAH DALAM REALITAS TERAPAN


AL-QUR'AN DAN SUNNAH

DALAM REALITAS TERAPAN

A. Pendahuluan

Al-Qur'an dan As-sunnah merupakan sumber ajaran Islam, memberi doktrin bahwa Islam adalah ajaran universal. Namun doktrin tersebut mendapat tantangan zaman. Karena zaman selalu memberi permasalahan baru yang tidak terdapat pada nash ajaran agama karena keterbatasan nash tersebut. Disinilah universalitas Islam untuk mewujudkannya dalam realitas dipertaruhkan, apakah Islam mapu menjawab tantangan tersebut atau tidak.

B. Permasalahan

1. Apa pengertian dan fungsi al-Qur'an ?

2. Apa pengertian dan fungsi as-Sunnah ?

3. Unirvaslitas dan singularitas Islam ?

C. Pembahasan

1. Pengertian dan Fungsi Al-Qur'an

a. Pengertian Al-Qur'an

Secara etimologi, al-Qur'an didefinisikan berbeda oleh beberapa ahli, diantaranya ada 3 pendapat:[1]

1) Al-Syafi'I (150-204 H). Ia mengatakan bahwa kata al-Qur'an dituliskan dan dibaca tanpa hamzah (Al-Qur'an) dan tidak diambil dari kata lain. Ia adalah nama khusus yang dipakai untuk kitab suci yang diberikan kepada Nabi Muhammad, sebagaimana kitab injil dan taurat dipakai khusus untuk kitab Tuhan yang diberikan kepada Isa dan Musa.

2) As-Asy'ari berpendapat bahwa lafal al-Qur'an tidak memakai hamzah dan diambil dari kata "qarana" yang berarti mengganbungkan. Hal ini disebabkan karena surat-surat beserta ayat didalamnya digabungkan dalam satu mushaf. Lebih dari itu al-Qur'an merupakan kitab suci yang menghimpun inti dari ajaran-ajaran kitab sebelumnya.

3) Al-Lihqani, mengatakan bahwa al-Qur'an itu berhamzah, bentuk masdarnya diambil dari kata "qara'a" yang berarti membaca. Namun lafal al-Qur'an bentuk masdarnya dimaknai isim maf'ul, sehingga al-Qur'an artinya "magru" (yang dibaca).

Sedangkan pengertian al-Qur'an secara terminology, secara umum adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, yang tertulis dalam mushaf dan diriwayatkan secara mutawatir dan membacanya bernilai ibadah.

Muhammad Abdah mengartikan bahwa al-Qur'an merupakan kalam mulia yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi yang paling sempurna (Muhammad SAW). Ajarannya mencakup keseluruhan ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber yang mulia yang esensinya tidak dimengerti kecuali bagi orang-orang yang berjiwa suci dan berakal cerdas.[2]

Kedua pengertian dari al-Qur'an di atas saling melengkapi. Pengertian yang pertama cenderung mendefinisikan al-Qur'an dari fisiknya yaitu terhimpun dalam mushaf, dan demi proses turunnya yaitu melalui yaitu melalui malaikat Jibril dan periwayatannya secara mutawatir, serta konsekuensinya jika membacanya yaitu mendapatkan pahala. Sedangkan pengertian yang kedua (menurut Muhammad Abduh) cenderung menjelaskan isi dari al-Qur'an yaitu al-Qur'an bukan hanya bersifat "untestable trith" yakni kalam Allah yang memang harus diyakini secara mutlak, tetapi juga berisi ilmu pengetahuan yang membuat al-Qur'an bersifat universal.

Dari pengertian di atas kita juga mengatahui kesalahan pendapat yang selama ini dilontarkan oleh orang barat serta kaum sekuler yang menganggap Islam hanyalah agama untuk akhirat. Padahal dari fakta yang ada Islam juga mengatur kehidupan dunia dan segala ilmu yang menyangkutnya.

b. Fungsi Al-Qur'an

Adapun al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada umat manusia, tentu saja suatu fungsi baik bagi pribadi Nabi Muhammad SAW sendiri maupun bagi seluruh kehidupan manusia, karena memang itulah tugas sebagai Rasul Allah. Diantara fungsi al-Qur'an menurut Quraish shihab adalah (1) Sebagai bukti kerasulan Muhammad dan kebenaran ajarannya. Sudah menjadi tradisi Allah setiap kali mengirim utusannya bagi umat manusia selalu disertai mukjizat yang sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakatnya, agar menjadi sebuah tameng yang melemahkan para penentangnya. (2) Petunjuk aqidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia, yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Allah dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan. (3) Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerapkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual dan kolektif. (4) Petunjuk syariat dan hukum dengan jalan menerapkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan (ibadah) dan sesama manusia (muamalah) atau dengan kata lain, al-Qur'an adalah petunjuk bagi seluruh manusia ke jalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.[3]

Syekh Muhammad Abduh, seorang pembaharu Islam dari Mesir menandakan fungsi al-Qur'an yang tertinggi. Dalam arti, walaupun akal menusia mampu membedakan yang baik dan buruk serta mengetahui benar dan salah, tetapi ia (akal) tidak mampu mengetahui hal-hal ghaib. Disinilah letak fungsi al-Qur'an.[4] Dalam kajian ilmu tauhid, hal-hal ghaib tersebut termasuk dalam aqidah Islam,[5] sehingga disini al-Qur'an diposisikan dalam doktrin konstan-non adaptable yang harus diyakini apa adanya.

Lebih dari itu, al-Qur'an juga berfungsi sebagai hakim yang memberikan keputusan akhir mengenai perselisihan di kalangan umat beragama. Oleh karena itu al-Qur'an merupakan penguat bagi kebenaran kitab-kitab suci terdahulu yang dianggap positif dan memodifikasi ajaran-ajaran usang.[6]

2. Pengertian dan Fungsi As-Sunnah

a. Pengertian as-Sunnah

As-Sunnah menurut pengertian bahasa (etimologi) berarti tradisi yang bisa dilakukan atau jalan yang dilalui baik yang terpuji maupun yang tercela. As-Sunnah juga berarti lawan dari bid'ah (mengerjakan amalan agama tanpa didasari oleh tradisi atau tata cara agama) juga berarti jalan hidup (sirah). Sedangkan al-Hadits berarti al-Jadid (yang baru) atau berarti al-Garib (yang dekat dan al-Khabar (berita).[7]

As-Sunnah secara terminologi ada ulama yang membedakan keduanya ada pula yang menyamakan. Ulama yang membedakan pengertian keduanya adalah Ibnu Taimiyyah, menurutnya bahwa al-Hadist adalah ucapan, perbuatan maupun tagrir Nabi Muhammad sebatas beliau diangkat menjadi Nabi/Rasul, sedangkan sunnah lebih dari itu, yakni sebelum beliau diangkat menjadi Nabi/Rasul. Sedangkan jumhur ulama menyamakan arti as-Sunnah dan al-Hadits. Hanya saja ulama hadist banyak memakai istilaj al-Hadits, sedangkan ulama ushul memakai istilah as-Sunnah.[8]

Dalam pembahasan ini pemakalah cenderung untuk menggunakan kedua istilah as-Sunnah dan al-Hadist dalam penggunaannya, sebagaimana pendapat yang dikemukakan jumhur ulama, karena selain pendapat ini benyak digunakan oleh para ulama akhir-akhir ini, juga agar pembahasan tidak berbelit-belit dan terjebak pada perbedaan yang membingungkan. Para ulama berbeda pendapat dalam memberikan suatu pengertian as-Sunnah penyebab utamanya adalah mereka memandangnya dan membicarakannya sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing.

Menurut ulama Hadist, as-Sunnah adalah segala sesuatu yang dinukilkan kepaada Nabi SAW berikut berupa perkataan, tagrirnya ataupun selain dari itu (sifat-sifat, keadaan, himmah (cita-cita)). Mereka memberi definisi seperti ini karena ulama Hadist memandang Nabi SAW sebagai manusia yang sempurna, yang dapat dijadikan suri tauladan bagi umat Islam (Qs. Al-Ahzab: 21). Sedangkan ulama ushul fiqih mengartikan as-Sunnah dan al-Hadist sebagai segala sesuatu yang datang dari Nabi SAW selain al-Qur'an baik berupa perkataan, perbuatan maupun tagrirnya, yang ada sangkut pautnya dengan hukum. Ulama ushul fiqih mendefinisikan seperti itu karena memandang Nabi SAW sebagai musyarri' (pembuat undang-undang) disamping Allah.[9]

b. Fungsi as-Sunnah

Umat Islam telah mengakui bahwa as-Sunnah merupakan pedoman hidup utama setelah al-Qur'an. Apa-pa yang belum dirinci dalam al-Qur'an yang sifatnya memang hanya berupa grand konsep, dijelaskan gambling oleh Sunnah Nabi Muhammad SAW. Adapun fungsi as-Sunnah diantaranya ada 4, yaitu:

1) Menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh al-Qur'an. Maka dalam hal ini kedua-duanya sama-sama menjadi sumber hukum.

2) Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat al-Qur'an yang masih global, memberikan batasan terhadap hal-hal yng msih belum terbatas di dalam al-Qur'an, memberikan kekhususan ayat-ayat al-Qur'an yang bersiat umum, dan memberikan peenjelasan terhdap hal-hal yang masih rumit dalam al-Qur'an.

3) Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam al-Qur'an. Hal ini berarti bahwa ketetapan hadist itu merupakan ketetapan yang bersifat tambahan hal-hal yang tidak disinggung oleh al-Qur'an.

4) Ketetapan hadist itu bisa mengubah hukum bahkan menghapus hukum al-Qur'an.[10]

Dalam hal kaitannya dengan fungsi hadist yang keempat, ada perbedaan pendapat, jumhur ulama menyatakan bahwa hadist bisa menasakh (menghapus) hukum dalam al-Qur'an dengan alasan al-Qur'an dan hadist adalah sama-sama wahyu (QS. An-Wajm: 3-4). Sedangkan Imam Syafi'I menyatakan bahwa al-Hadist tidak bisa menasakh al-Qur'an, karena hadist merupakan sumber cabang (furu'), sehingga tidak bisa menghapus al-Qur'an.

3. Universalitas dan Singularitas Islam

Salah satu pembuktian bahwa ajaran Islam bersifat universal adalah dengan melihat sejarah kehidupan Rasulullah SAW dan sabdanya yang selalu dihadapkan pada kemajemukan realitas dan linguistik. Dengan demikian karena kerasulan dengan alam kemanusiaan, Islam senantiasa ada bersama manusia tanpa dibatasi ruang waktu. Sehingga menimbulkan suatu konsekuensi bahwa Islam sebagai agama yang abadi hingga akhir zaman dan bersifat universal, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, dimana dan kapan saja ia berada.[11] Hal ini sesuai dengan misi Nabi Muhammad yaitu ajarannya ditujukan kepada seluruh umat manusia sepanjang zaman, oleh karena itu ajarannya bersifat universal, dan dimanis, walaupun munculnya kurang lebih sudah empat belas abad yang lalu.

Bukti lain keuniversalan Islam dapat dilihat dari pandangan ajarannya sendiri yakni ajaran Islam terdiri dari dua dimensi. Dimensi eksoterisme-aqidah dan eksoterisme-syariah, yang pada tataran praktisnya memiliki titik keseimbangan antara keduanya. Eksoterisme-aqidah adalah segala sesuatu yang beraksentuasi pada hal-hal yang besifat kepercayaan (abstrak). Dalam kajian ilmu tauhid, seperti yang sedikit disinggung sebelumnya, aqidah Islam diformulasikan lebih jauh sebagai rukun iman.[12] Sifat dari dimensi ini adalah konstan non-adaptable atau transcendental metafisis. Menurut Muslim A. Kadir dimensi Islam yang transcendental metafisis ini berada di luar atau belum meruang waktu. Artinya, materi yang terkandung di dalamnya bukan substansi. Kebenaran yang masih perlu dicari, diujikan, dibuktikan melainkan cukup diterima atas dasar iman yang merupakan kelengkapan lain kemanusiaan di atas rasio itu sendiri, sehingga sifat kebenaran ini adalah tidak perlu di uji (untestabel truth).[13]

Menurut Yusuf Qardhawi, seorang pemikir Islam kontemporer dari Mesir, menunjukkan angka perbadingan 10% dari keseluruhan nash ajaran agama (al-Qur'an dan Sunnah) berdimensi ta'abudi yang harus dijalankan apa adanya tanpa mengenal perubahan. 10% ini juga menyangkut dimensi eksoterisme-aqidah. Sementara yang 10% bersifat ta'atquli, yang artinya dapat diintervensi oleh nalar. Cara penerimaannya adalah dengan pembuktian empiris sehingga memungkinkan muncul dan berkembang deferensiasi dan pendapat.[14]

Lebih besarnya segmen kedua menyiratkan suatu hal, yaitu betapa Islam dengan misi universalnya sangat akomodatif terhadap tuntutan zaman, sehingga ia tidak mudah basi dan cenderung kuno dalam menghadapai derasnya arus globalisasi pada era pos industri yang semakin berkembangnya ilmu pengetahuan seperti yang kita saksikan saat ini.

Menyambung pernyataan Ali A. Yusuf yang menyatakan Islam adalah agama abadi hingga akhir zaman, menurut Muslim A. kadir hal ini mengindikasikan umat manusia di kemudian hari, terkait dengan wahyu yang diterima Rasul Allah. Universalitas ini tdak hanya dalam pengertian lingkup keberagamaan yang menjadi bidang kegiatan semata. Melainkan juga lingkup orang beriman yang menjangkau semua umat manusia sampai hari akhir. Tabiat ini sudah mulai tampak dalam panggilan yang tertuang dalam firman Allah SWT. Panggilan ini menggunakan kata universal, misalnya: "wahai manusia …….." yang tercantum dalam banyak ayat, seperti surat Al-Baqarah: 21. Seruan ini bukan hanya ditujukan kepada kabilah arab saja, melainkan seluruh umat manusia.[15]

Perilaku Rasul Allah, sebagai penerima wahyu, merupakan petunjuk konkret sifat universal ajaran islam. Menurut laporan sejarah, dalam konteks perjanjian Hudaibiyah, beliau bersabda bahwa diutusnya adalah menjadi rahman secara utuh bagi umat manusia. Sehingga Rasul Allah mengutus sahabat untuk menemui raja di sekitar Arab dan menyampaikan seruan agar menerima ajaran Islam.[16]

Sebagai tabiat suatu ajaran keagamaan, universalitas ini terpenuhi jika umat manusa di kemudian hari, yang tidak langsung mendapat bimbingan Rasulullah SAW dan berada dalam konteks sosiokultur yang berbeda dengan konteks sosio-kultur beliau, memiliki peluang yang sama dengan generasi sahabat. Untuk itu diperlukan kegiatan intelektual untuk menangkap bimbingan tersebut.[17]

Dan puncak dari itu semua adalah singularitas, yaitu ajaran Islam bukan hanya sebagai ide, namun sudah meruang waktu dalam wujud tampilan konkret, lengkap dengan sifat, keadaan, tempat dan waktu tertentu, dapat diindra, dalam kehidupan konkret pemeluk dan dapat ditunjuk sebagai satuan keberagamaan.[18] Evolusi dari universalitas ke singularitas berbanding lurus dengan perubahan dari ajaran agama menjadi respon terhadap ajaran tersebut atau lazim disebut kebergamaan. Agama hanya menunjuk ke dimensi ide saja, yang baru dapat menjadi kenyataan yang meruang waktu jika sudah dalam wujud keberagamaan. Sebagai contoh, sunnah yang merupakan sumber ajaran Islam adalah juga merupakan wujud keberagamaan yang secara langsung dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW yakni merespon wahyu Allah yang sifatnya mutlak-absolut (al Qur'an), sebagaimana yang disebutkan dalam fungsi hadist di atas. Walaupun dalam sunnah juga didapati unsur wahyu.

Menjadi generasi setelah meninggalnya Rasulullah, dimanapun dan kapanpun berarti menjadi singularitas pemeluk yang berbeda dengan generasi sahabat. Singularitas ini mejadi khusus, mungkin disebabkan oleh perbedaan waktu, tempat, kondisi sosiokultural, pola pemikiran, adat istiadat, warna kulit, dan faktor lain yang menyebabkan komunitasnya menjadi berbeda. Mengakui singularitas sebagai pelaksanaan Islam berarti menyangkutnya menjadi sebuah faktualisasi sesuai dengan ciri masing-masing. Ini adalah prosedur faktualisasi yang menimbulkan konsekuensi munculnya komunitas orang yang beriman setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Universalitas ajaran Islam memang menjadi esensi masyarakat kaum muslimin di kemudian hari. Namun yang menjadi teladan bukanlah singularitas generasi sahabat yang menjadi konteks perilaku Rasul Allah itu, melainkan produk oleh keberagamaan yang dibangun Rasul Allah.[19]

Untuk mencapai tujuan risalah, kegiatan intelektual serta upaya lainnya telah dilakukan sejak masa Rasulullah sampai masa modern ini. Perhatian yang utama tentu ditujukan pada studi tentang al-Qur'an dan sunnah. Hal ini dikarenakan orang yang beriman dalam ruang dan waktu yang berbeda dengan Rasulullah, berupaya untuk melaksanakan ajaran Islam. Mereka perlu menangkap universalitas ajaran tersebut untuk diaktualisasikan dalam wujud kehidupan sosial mereka sendiri. Sebab menurut Abu Yazid, kebenaran wahyu dalam Islam adalah mutlak-absolut, sedang kebenaran pemahaman dan berkomunikasi dan teks wahyu tersebut adalah relatif.[20] Jika perolehan universalitas, proses faktualisasi ajaran yang diselenggarakan, serta produknya dalam wujud singularitas keberagamaan sahabat, dijamin kebenarannya tidak demikian halnya dengan setelah beliau wafat. Inilah awal kesulitan yang mereka hadapi. Genarasi orang beriman ini tidak menerima bimbingan langsung dari Rasulullah.[21] Sehingga mereka perlu meganalisis situasi dan kondisi secara empiris di lapangan dengan merujuk pada sumber dalil agama. Dengan demikian, nilai-nilai universal yang tersirat dalam sumber ajaran dapat ditafsirkan secara ilmiah-empirik.[22]

D. Kesimpulan

Al-Qur'an merupakan wahyu dari Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang digunakan sebagai petunjuk bagi manusia, sedang sunnah merupakan perbuatan, perkataan, dan tagrir Nabi Muhammad SAW, yang juga merupakan keberagmaan yang secara langsung dipraktekkan oleh beliau. Ajaran universal dari Islam akan terwujud jika sudah mengalami singularitas sehingga mampu meruang waktu.

E. Penutup

Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, apabila ada kekurangan dan kesalahan kami minta maaf serta dengan senang hati kami menerima SMS (saran, masukan dan solusi) yang bersifat konstruktif. Akhir kata, semoga bermanfaat dan menambah khazanah bagi kita semua. Amiien.

F. Referensi

Muhaimin dkk, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Kencana, Jakarta, 2005.

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, Mizan, Badung, 1992.

Abu Yazid, Islam Akomodatf, L kis, Yogyakarta, 2004.

Ali Anwar Yusuf, Wawasan Islam, Pustaka Setua, Bandung, 2002.

Muslim A. kadir, Ilmu Islam Terapan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.


[1]Muhaimin, et, al, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Kencana, Jakarta, 2005, hlm. 81-82.

[2]Ibid, hlm. 83.

[3]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, Mizan, Badung, 1992, hlm. 27.

[4]Muhaimin dkk, Op. Cit, hlm. 86

[5]Abu Yazid, Islam Akomodatif, LKiS, Yogyakarta, 2004, hlm. 8.

[6]Muhaimin, et, al, Op. Cit, hlm. 86.

[7]Ibid, hlm. 123-124.

[8]Ibid, hlm. 124.

[9]Ibid, hlm. 126.

[10]Ibid, hlm. 134-139.

[11]Ali Anwar Yusuf, Wawasan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2002, hlm. 15.

[12]Abu Yazid, Op. Cit, hlm. 8.

[13]Muslim A. Kadir, Ilmu Islam Terapan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 5.

[14]Abu Yazid, Op. Cit, hlm. 16-17.

[15]Muslim A. Kadir, Op. Cit, hlm. 14-15.

[16]Ibid, hlm. 15.

[17]Ibid, hlm. 15-16.

[18]Ibid, hlm. 11.

[19]Ibid, hlm. 12.

[20]Abu Yazid, Op. Cit, hlm 25.

[21]Muslim A. Kadir, Op. Cit, hlm. 17.

[22]Abu Yazid, Op. Cit. hlm. 27.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar