Rabu, 17 Maret 2010

TASAWUF DAN SPIRITUALITAS

TASAWUF DAN SPIRITUALITAS

A. Latar Belakang Masalah

Tasawuf adalah bagian dari syari'at Islamiah, yakni wujud dari ihsan, salah satu dari tiga kerangka ajaran Islam (iman, Islam, dan ihsan). Oleh karena itu perilaku tasawuf harus tetap berada dalam kerangka syari'at Islam. Tasawuf sebagai perwujudan dari ihsan, yang berarti beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, apabila tidak mampu demikian, maka harus disadari bahwa Dia melihat diri kita, adalah kualitas penghayatan seseorang terhadap agamanya. Dengan demikian tasawuf sebagaimana mistisisme pada umumnya, bertujuan membangun dorongan-dorongan yang terdalam pada diri manusia. Yaitu dorongan untuk merealisasikan diris ecara menyeluruh sebagai makhluk, yang secara hakiki adalah bersifat kerohanian dan kekal. Tidak sekedar asoteris, ganjil dan hayali, tetapi justru sublim, universal dan benar-benar praktis. Ia mempunyai potensi besar karena mampu menawarkan pembebasan spiritual, mengajak manusia mengenal dirinya sendiri, dan akhirnya mampu mengenal Tuhannya. Hal ini merupakan pegangan hidup yang paling terpercaya, sehingga manusia tidak terombang-ambing saat diterpa badai kehidupan. Ia menuntun manusia menuju hidup yang bermoral, sehingga mampu menunjukka eksistensinya sebagai makhluk termulia di muka bumi.[1]

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah pemakalah dapat menarik pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengertian tasawuf dan spiritualitas ?

2. Bagaimana peranan atau tanggung jawab tasawuf dalam spiritualitas ?

C. Pembahasan

1. Pengertian Tasawuf dan Spiritualitas

Secara etimologis, para ahli berselisih pendapat tentang asal kata tasawuf. Sebagian menyatakan bahwa kata tasawuf berasal dari shuffah yang berarti emper masjid Nabawi yang didiami oleh sebagian sahabat Anshar. Ada pula yang mengatakan berasal dari shaf, yang berarti barisan. Seterusnya ada yang mengatakan berasal dari shafa, yang berarti bersih/jernih, dan masih ada lagi yang mengatakan berasal dari kata shufa-nah, yakni nama kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir. Terakhir ada yang mengatakan berasal dari bahasa Yunani theosofi, yang berarti ilmu ketuhanan. Namun yang terakhir ini penulis tidak setuju. Penulis cenderung pada pendapat yang mengatakan bahwa kata tasawuf berasal dari shuf (bulu domba). Selanjutnya orang yang berpakaian bulu domba disebut mutashawwif, perilakunya disebut tasawuf.[2]

Sedangkan secara terminologi para ulama berbeda pendapat tentang arti serta asal-usul kata tasawuf, namun yang paling tepat adalah berasal dari kata shuf (bulu domba), baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap kesederhanaan, maupun aspek kesejarahan. Tetapi yang dimaksud bulu domba di sini bukanlah pengertian modern, yaitu pakaian bergengsi yang hanya dipakai oleh orang-orang kaya, melainkan kain kasar yang dipakai oleh orang-orang miskin di Timur Tengah pada zaman dahulu. Orang-orang sufi ingin hidup sederhana dan menjauhi keduniaan, sehingga mereka hidup sebagai orang-orang miskin dengan memakai kain kasar tersebut.[3]

Adapun spiritualitas berasal dari kata spiritual yang artinya orang yang melakukan ajaran agama.[4] Artinya orang yang hanya menjalankan perintah agama sesuai dengan ajaran yang diyakininya, dalam hal ini adalah agama Islam.

2. Peranan atau Tanggung Jawab Tasawuf dalam Spiritualitas

Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa tasawuf mempunyai peranan atau tanggung jawab yang sangat besar dalam spiritualitas seseorang. Oleh karena itu, Husen Nasr dalam Islam and the Pligh of Modern Man yang dikutip oleh Komaruddin Hidayat, menyatakan bahwa akibat masyarakat modern yang mendewa-dewakan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan mereka berada dalam wilayah pinggiran eksistensinya sendiri, bergerak menjauh dari pusat, sementara pemahaman agama yang berdasarkan wahyu mereka tinggalkan, hidup dalam keadaan sekuler. Masyarakat yang demikian adalah masyarakat Barat yang dikatakan the post industrial society tela kehilangan visi keilahian. Masyarakat yang demikian ini telah tumpul penglihatan intelektusnya dalam melihat realitas hidup dan kehidupan.[5]

Kehilangan visi keilahian ini bisa mengakibatkan timbulnya gejala psikologis, yakni adanya kehampaan spiritual. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta filsafat rasionalisme tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia dalam aspek nilai-nilai transenden, satu kebutuhan vital yang hanya bisa digali dari sumber wahyu ilahi. Akibat dari itu, maka tidak heran kalau akhir-akhir ini banyak dijumpai orang yang stres dan gelisah, karena tidak mempunyai pegangan hidup. Dari mana, akan ke mana dan untuk apa hidup ini ?[6]

Melihat gejala manusia modern yang penuh problema tersebut, Husen Nasr, seorang ulama Iran menawarkan alternative terapi agar mereka mendalami dan menjalankan praktik tasawuf. Sebab tasawuflah yang dapat memberikan jawaban-jawaban terhadap kebutuhan spiritual mereka. Dalam pandangan tasawuf, penyelesaian dan perbaikan keadaan itu tidak dapat tercapai secara optimal jika hanya dicari dalam kehidupan lahir, karena kehidupan lahir hanya merupakan gambaran atau akibat dari kehidupan manusia yang digerakkan oleh tiga kekuatan pokok yang ada pada dirinya, yaitu akal, syahwat, dan nafsu amarah. Jika ketiganya dapat diseimbangkan, maka hidup manusia akan menjadi normal. Dengan kata lain perdamaian itu terletak pada perseimbangan.[7]

Tanggung jawab tasawuf bukanlah dengan melarikan diri dari kehidupan dunia nyata, sebagaimana dituduhkan oleh sementara orang yang kurang setuju terhadap tasawuf, akan tetapi ia adalah suatu usaha mempersenjatai diri dengan nilai-nilai rohaniah yang baru, yang akan membentangi diri saat menghadapi problema hidup dan kehidupan yang serba materialistik, dan berusaha merealisasikan keseimbangan jiwa sehingga timbul kemampuan menghadapi beragam problem tersebut dengan sikap jantan.

Dalam tasawuf terdapat prinsip-prinsip positif yang mampu mengembangkan masa depan manusia, seperti melakukan instropeksi (muhasabah) baik dalam kaitannya dengan masalah-masalah vertikal maupun horizontal, kemudian meluruskan hal-hal yang kurang baik. Selalu berdzikir (dalam arti yang seluas-luasnya) kepada Allah SWT, sebagai sumber gerak, sumber kenormatifan, sumber motivasi dan sumber nilai yang dapat dijadikan acuan hidup. Dengan demikian, seseorang bisa selalu berada di atas sunnatullah dan shirath al-mustaqim.[8]

D. Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tasawuf dan spiritualitas merupakan mata rantai yang tak bisa dilepaskan, artinya seseorang dalam melakukan spiritualitas tanpa adanya tasawuf yang dimilikinya maka orang tersebut tidak akan tahu kemana hidup ini akan dibawanya. Sebaliknya jika seseorang melakukan spiritualitas dengan menggunakan atau setidaknya menyeimbangkan dengan tasawuf, maka orang tersebut akan tahu kemana arah hidup ini akan dijalankannya. Oleh karena itu, dalam kehidupan seseorang dalam menjalankan hidupnya atau menentukan hidupnya yang sesuai dengan ajaran agama, haruslah menggunakan adanya tasawuf dan spiritual yang seimbang, agar visi keilahiannya tidak dihilangkan gara-gara adanya zaman yang serba modernisasi ini.

E. Penutup

Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, apabila ada kekurangan dan kesalahan dalam menulis dan menerangkan kami minta maaf serta dengan senang hati kami menerima SMS (saran, masukan dan solusi) yang bersifat konstruktif guna perbaikan makalah yang akan datang. Akhir kata, semoga bermanfaat dan menambah khazanah bagi kita semua. Amiiin.

Daftar Pustaka

Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999.

Jalaluddin Rakhmad, et, al, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, Paramadina, Jakarta, 1996.

Komaruddin Hidayat, Agama-agama Masa Depan, Paramadina, Jakarta, 1995.

Masyharuddin, Tasawuf Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999.

Simuh, et, al, Tasawuf dan Krisis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001.


[1]Masyharuddin, Tasawuf Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hlm. 7.

[2]Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hlm. 8.

[3]Ibid, hlm. 11.

[4]Jalaluddin Rakhmad, et, al, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, Paramadina, Jakarta, 1996, hlm. 58.

[5]Komaruddin Hidayat, Agama-agama Masa Depan, Paramadina, Jakarta, 1995, hlm. 85.

[6]Simuh, et, al, Tasawuf dan Krisis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm. 107.

[7]Ibid, hlm. 87.

[8]Amin Syukur, Op. Cit, hlm. 114.

2 komentar: