HUKUM POLITIK ISLAM
Pendahuluan
Dalam Islam telah ada kesepakatan bahwa sumber utama ajaran adalah al Qur'an, yang dari sini diturunkan dua intisari ajaran, yaitu akidah dan syari'ah. Keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Tidak ada akidah tanpa syari'ah dan begitu pula sebaliknya. Akidahlah yang menghubungkan antara hamba dengan Allah. Ia tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan syari'ah juga menghubungkan manusia dengan Allah, yang biasa disebut ibadah. Hubungan antara manusia sesama manusia disebut mu'amalah, sedangkan hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah disebut siyasah.
Menguraikan hubungan antara agama dan politik dalam perspektif Islam bukanlah pekerjaan mudah. Jalinan hubungannya ternyata begitu rumit, bahkan muncul berbagai corak pemikiran baik yang mendukung maupun yang menentang dengan alasannya masing-masing. Perkara ini sebenarnya bukan saja dialami oleh komunitas Islam, tetapi telah menjadi salah satu keprihatinan para pakar ilmu-ilmu sosial sejak dulu. Misalnya, di dalam filsafata politik Plato dan Aristoteles, polis dipandang sebagai bentuk ideal komunitas, karena ia mampu memenuhi sendiri keperluan sosial da ekonominya serta dalam membangun moral dan agama. Eickelman dan Piscatori pada tahun 1996 mencurahkan perhatian terhadap ekspresi politik Islam.[1]
Permasalahan
1. Bagaiamana hukum politik dalam perspektif Islam ?
2. Bagaimana hukum politik Islam pada masa modern ?
Pembahasan
A. Hukum Politik dalam Perspektif Islam
Pada saat Islam sedang memasuki periode dini dari kehadirannya dalam sejarah, pergumulan antara perintah moral da realitas sosio-politik umat telah berlangsung, sekalipun belum terlalu seru. Nabi dan para sahabat saat itu masih berada dalam posisi keagungan moral yang prima. Dengan demikian sampai batas-batas yang jauh, politik tetap berfungsi sebagai kendaraan moral yang efektif. Sehingga tidak mengherankan kalau banyak penulis muslim mengidealisasikan periode dini ini.
Sejarah Islam pada periode dini itu mencerminkan semangat demokrasi yang otentik, tapi sayang selama berabad-abad kemudian semangat ini terpasung dalam budaya imperial Islam dalam bentuk kerajaan yang despotis. Teori-teori politik yang berkembang pada periode-periode itu bukanlah mengambil inspirasi utama dari masa awal Islam. Teori-teori itu pada umumnya bercorak pragmatis, sekadar mencarikan pembenaran agama terhadap kecenderungan politik yang sedang berlaku. Memang ide tentang keadilan tetap berharap bahwa idealisme itu dapat terwujud dalam sebuah lingkungan budaya politik yang serba despotis-otoriter.[2]
Yang pasti dan tidak lagi memerlukan penjelasan, bahwa politik ini adalah politik yang dilandaskan kepada kaidah-kaidah syariat, hukyum dan tuntunan-tuntunannya. Sebab tidak semua politik berdasarkan syariat. Banyak politik yang berbenturan dengan syariat dan banyak unsur politik yang tidak mempedulikan syariat, apakah syariat itu ridha atau tidak, menerima atau menolak, yang penting politik terus berlalu di jalannya sesuai dengan konsep dan keinginan yang dicanangkan para aktornya.
Di antara mereka ada yang menjadikan filsafat dan pemikiran-pemikiran tertentu sebagai landasan politiknya, ada yang mengacaukannya seperti yang dilakukan orang-orang sekuler zaman sekarang, baik dari golongan kanan (liberalis) maupun golongan kiri (marxis). Di antara mereka ada yang mengacu kepad tradisi yang diwarisi dari para pendahulnya, tanpa mau bertanya kepada diri sendiri, apakah hal itu sejalan dengan syariat atau bertentangan dengannya. Di antara mereka ada yang mengacu kepada ambisi dan kemaslahatan diri sendiri, agar kursi yang didudukinya tidak lepas, tanpa mempedulikan kemaslahatan rakyat, apa kehendak mereka dan nilai-nilai yang berlaku di tengah rakyat.
Yang demikian ini tidak bisa dianggap sebagai politik menurut perspektif syariat. Sebab politik menurut perspektif syariat ialah yang menjadikan syariat sebagai pangkal tolak, kembali dan bersandar kepadanya, mengaplikasikannya di muka bumi, menancapkan ajaran-ajaran dan prinsip-prinsipnya di tengah manusia, seklaigus sebagai tujuan dan sasarannya, sistem dan jalannya. Tujuannya berdasarkan syariat dan sistem yang dianut berdasarkan syariat. Inilah politik yang diinginkan, yaitu pangkal tolaknya berdasarkan syariat, tujuannya berdasarkan syariat dan sistemnya berdasarkan syariat.[3]
B. Hukum Politik Islam Pada Masa Modern
Dalam pemikiran politik Islam pada masa modern di sini terdapat tiga pemikiran dalam pandangan pakar-pakar politik Islam, yaitu:
Pertama, Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897 M), selanjutnya disebut Afghani, dikenal sebagai seorang pemimpin pembaharuan politik di dunia Islam pada abad ke-19. Ia menguasai bahasa-bahasa Afghan, Arab, Turki, Persia, Perancis dan Rusia. Kegiatannya di bidang politik, ilmiah dan pers, kelahiran Afghanistan ini juga dikenal sebagai agitator dan konseptor perjuangan umat Islam melawan kolonialisme dan imperialisme Barat. Untuk menyebarkan ide-idenya, ia mengunjungi negeri-negeri muslim.
Berbicara mengenai negara dan pemerintahan dalam perspektif Islam, menurut Afghani, Islam menghendaki bentuk republik. Sebab, di dalamnya terdapat kebebasan berpendapat dan kepala negara harus tunduk kepada Undang-undang dasar. Pendapat ini baru dalam sejarah politik Islam. Sebab, sebelumnya dan masa di Afghani umat Islam dan pemikirannya hanya mengenal bentuk khilafah yang mempunyai kekuasaan absolut. Sedangkan negara yang berpemerintahan republic, yang berkuasa adalah undang-undang dan hukum, bukan kepala negara. Ia hanya punya kekuasaan untuk menjalankan undang-undang dan hukum yang digariskan oleh lembaga legislative untuk memajukan kemaslahatan rakyat.
Pendapat Afghani tersebut jelas dipengaruhi oleh pemikiran barat. Barat lebih dulu mengenal pemerintahan republic. Tapi tidak lepas pula dari pemahamannya terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam yang berkaitan dengan kemasyarakatan dan kenegaraan.
Pemunculan ide Afghani tersebut sevagai reaksi kepada salah atau sebab kemuncuran umat Islam yang bersifat politis, yaitu pemerintahan yang absolut. Abduh pun melihat sikap jumud merupakan penyebab kemunduran umat Islam, akibat dari pemerintahan sewenang-wenang, absolut. Juga tidak terlepas dari pengertian Islam yang dipahaminya. Syari'at bagi Abduh mempunyai pengertian sempit dan luas. Syari'at dalam pengertian sempit adalah himpunan hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya, yaitu pokok-pokok ajaran Islam yang tidak berkembang dan tidak berubah. Sedangkan syari'at dalam pengertin luas adalah kaidah-kaidah atau dasar-dasar yang mengatur kehidupan kaum muslimin yang dapat disamakan dengan Al-Tasyri' al-Islam (perundang-undangan Islam). Perundang-undangan yang dihasilkan oleh ijtihad melalui penafsiran dasar-dasar agama secara rasional di bidang muamalah yang selalu berkembang untuk memelihara kemaslahatan masyarakat. Abduh, sebagaimana gurunya Afghani, berpendapat Islam punya unsur dinamis yang dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman, dengan jalan ijtihad.
Dengan demikian Afghani akan mengingkankan adanya pemerintahan yang demokratis, adalah penegasannya tentang keharusan kepala negara mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang banyak pengalaman. Syura diperintahkan oleh Allah dalam al Qur'an agar dipraktikkan dalam berbagai urusan.
Kedua, Muhammad Abduh (1849-1905 M) kelahiran Mesir adalah murid Afghani yang setia. Ia aktif di bidang politik, pers, pendidikan dan pengajaran serta di pemerintahan. Tetapi ia lebih dikenal sebagai tokoh pembaharu pemikiran keagamaan. Ia bersama Afghani pernah tinggal di Paris, dan bekerjasama menerbitkan majalah Al-'Urwat al-Wustqa di kota itu.
Pandangan Abduh bahwa Islam tidak menetapkan bentuk pemerintahan mempunyai kesamaan dengan pendapat Ibu Taimiyah. Keduanya sama-sama tidak mementingkan bentuk pemerintahan dan sama-sama berpendapat bahwa sistem pemerintahan disesuaikan dengan kehendak umat melalui ijtihad serta tidak berdasarkan kepada sistem syariat yang kaku. Pemerintahan dan rakyat mempunyai hak dan kewajiban yang sama memelihara dasar-dasar agama, dan menafsirkannya selama ia berkaitan dengan masalah keduniaan. Produk dari pemahaman itu tidak bertentangan dengan salah satu pokok-pokok agama. Dalam kepala merekalah bentuk pemerinthana. Artinya merekahlah yang menentukan bagaimana bentuk pemerintahan yang mereka kehendaki.
Muhammad Abduh ketika menafsirkan ayat wa syawir hum fi al-amr (Ali Imran:159) menyatakan bahwa mengadakan musyarawah adalah untuk membicarakan kemaslahatan masyarakat dan menentukan arah masa depan pemerintahan mereka. Dengan syura, rakyat akan terdidik dalam mengeluarkan pendapat dan mempraktikkannya. Mereka tidak terikat kepada pendapat seorang kepala negara sekalipun pendapatnya benar. Karena orang banyak yang ikut dalam forum musyawarah, akan terhindar dari melakukan kesalahan daripada diserahkan kepada seseorang yang cenderung membawa bahaya kepada umat. Seorang penguasa yang tidak dibatasi Undang-undang dan hak kritik rakyat cenderung mempertahankan status quo dengan berbagai cara. Syura akan menghilangkan kesewenangan-wenangan penguasa terhadap kebebasan berpendapat. Ia juga akan menumbuhkan kesadaran politik rakyat untuk menyampaikan saran kepada pemerintahan, dan sebagai media untuk mewujudkan keserasian kerjasama antara pemerintah dan rakyat. Dengan demikian Abduh, menghendaki suatu pemerintahan yang demokratis.
Ketiga, Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M) adalah kelahiran Syria dan murid terdekat Abduh. Ia aktif di bidang pers, politik dan pendidikan serta kajian pemikiran keagamaan. Menurutnya khalifah baginya adalah wajib syar'i, dan eksistensi khilafah sangat penting dalam rangka penerapan hukum syariat Islam. Ini sejalan dengan pandangannya, bahwa Islam adalah agama untuk kedaulatan, politik dan pemerintahan. Bila demikian, berarti bentuk pemerintahan lain bagi Ridha tidak bisa menerapkan syariat Islam.
Untuk mendukung pendapatnya itu, Ridha memberikan pengertian yang satu kepada khilafat, imamat al-'uzhmat dan imarat al-mu'minin, yakni kepala pemerintahan untuk menegakkan urusan agama dan urusan dunia.
Karena Ridha, menggaris bawahi pendapat At-Taftazani yang mengatakan, imamah adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia yang diwarisi dari Nabi. Ia juga sependapan dengan Al-Mawardi yang mengatakan, imamah itu ditegakkan sebagai pengganti Nabi dalam memelihara urusan keagamaan dan keduniaan.
Lebih lanjut, Ridha juga mengedepankan pendapat dan argumentasi Al-As'ad tentang khilafah sebagai kewajiban syar'i, yaitu adanya ijma' sahabat dalam hal pengukuhan Abu Bakar sebagai Khilafah Nabi sampai mereka mendahulukannya daripada penguburan Nabi.[4]
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemikiran politik Islam pada masa modern, menurut pendapat para pakar, ialah adanya pemerintahan yang demokratis.
Penutup
Demikianlah penulis yang dapat sampaikan, apabila ada kekurangan dan kesalahan dalam penulisan dan penjelasan minta maaf serta dengan senang hati penulis menerima saran dan kritik yang bersifat konstruktif. Akhir kata, semoga bermanfaat dan menambah khazanah bagi kita semua. Amiiin.
Daftar Pustaka
M. Rusti Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1999.
Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, Rajawali Perss, Jakarta, 1995.
Yusuf Qardhawy, Pedoman Bernegara dalam Perspektif Islam, Al-Kautsar, Jakarta, 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar