AGAMA DAN MODERNISASI
A. Pendahuluan
Pembaharuan dalam Islam atau gerakan modern Islam merupakan jawaban yang ditujukan terhadap krisis yang dihadapi pada masa ini. Kemunduran progresif kerajaan Usmani yang merupakan pemangku Khalifah Islam setelah abad XVII, telah melahirkan kebangkitan Islam di kalangan warga Arab di pinggiran imperium itu. Yang terpenting di antaranya adalah gerakan Wahabi, sebuah gerakan reformis puritanis. Gerakan ini merupakan sarana yang menyiapkan jembatan ke arah pembaharuan Islam pada abad XX yang lebih bersifat intelektual.[1] Katalisator terkenal gerakan pembaharuan ini adalah Jamaluddin al-Afghani (1897). Ia mengajarkan solidaritas pan Islam dan pertahanan terhadap imperialisme Eropa, dengan kembali kepada Islam dalam suasana yang secara ilmiah di modernisasi.[2] Gerakan yang lahir di Timur Tengah ini telah memberikan pengaruh besar kepada kebangkitan Islam di Indonesia. Bermula dari pembaruan pemikiran dan pendidikan Islam di Minag Kabau. Gagasan pembaharuan itu tidaklah berdiri sendiri tapi merupakan respon atas situasi sosial-historis. Demikian pula denga gagasan pembaharuan pada masa Orde Baru ini pada mulanya muncul sebagai respon Islam atas gagasan modernisasi. Itulah sebabnya tema-tema diskusi pemikiran pada awal-awal Orde Baru adalah di sekitar soal modernisasi, yang menjadi pilihan dari aktualisasi ide kemajuan pemerintahan Orde Baru.[3] Pada periode inilah, mulai terlihat usaha yag dapat disebut dengan “merumuskan konsep-konsep normatif Islam menjadi teori ilmiah.” Oleh karen itu, tidaklah mengherankan jika respon modernisasi di kalangan umat Islam, dimulai dengan apa artinya modernisasi bagi umat Islam. Semetara itu, persoalan nyata di balik perdebatan modernisasi sebelum tahun 1970-an bukanlah masalah-masalah substantif dan pragmatis yang menyangkut proses modernisasi itu, tapi lebih pada soal orientasi ideologis dari kaum elit modern Islam; artinya menyangkut perjuangan memperoleh hegemoni religio-politik, yang waktu itu elit Islam sedang dilanda frustasi politik, karena kurang dilibatkan dalam pemerintahan.
Dari pemikiran di atas, dalam kesempatan ini pemakalah akan menjelaskan dengan kemampuan terbatas yang dimilikinya mengenai bagaimana agama dan modernisasi.
B. Pembahasan
1. Agama
Agama merupakan peranan yang sangat penting dalm hidup dan kehidupan manusia, karena agama tidak hanya mengatur kehidupan manusia di alam akhirat saja, tetapi juga mengatur bagaimana seharusnya hidup di dunia. Agama mengajarkan nilai-nilai moral dan mengajak manusia berbuat baik dalam hubungannya dengan alam sesama manusia. Menurut Abdurrahman, dkk, bahwa kebenaran dan nilai-nilai sebagai hasil pemikiran manusia, tanpa dikendalikan oleh cahaya kebenaran agama akan mudah terjerumus dalam kesesatan.[4]
Menurut Zakiiah Daradjat, agama adalah yang dirasakan dengan hati, pikiran dan dilaksanakan tindakan serta membentuk dalam sikap dan cara menghadapi hidup pada umumnya.[5] Sedangkan menurut Durkheim (Ahli Sosiologi) yang diutip oleh Muslim Nurdin, dkk, bahwa agama adalah suatu kesatuan sistem kepercayaan dan pengalaman terhadap suatu yang sakral, yaitu yang lain daripada yang lain.[6]
Dari pandangan tersebut, dapat dilihat bahwa inti beragama adalah iman. Dalam iman terdapat unsur perlunya memahami isi wahyu berarti memahami al Qur'an dan as Sunnah.[7] Pemahaman al Qur'an dan as Sunnah seharusnya tercermin dalam pembenaran (tasdiq), perkataan (qaul) dan amal.
2. Modernisasi
Modernisasi itu semestinya tidak terlalu asing dalam tinjauan kemanusian dan intelektualnya. Modernisasi dalam banyak hal merupakan pengembangan lanjut nilai-nilai yang ada dalam tradisi kerohanian Irano-Semitik, yang memuncak dalam Islam. Sebagai seorang sarjana muslim yang menekuni ilmu-ilmu keislaman-tetapi dengan bacaan buku-buku umum yang cukup. Modernisasi menurut Nurcholish Madjid memiliki pengertian yang identik, atau hampir identik dengan pengertian rasionalisasi. Itu berarti, proses perubahan pola berpikir dari tata kerja lama yang tidak rasional (aqliyah) dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang aqliyah.[8] Hal itu dilakukan dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu pengetahuan, sebagai hasil pemahaman manusia terhadap hukum-hukum objektif yang menguasai alam, ideal dan materil, sehingga alam ini berjalan menurut kepastian tertentu dan harmonis.[9] Jadi, sesuatu dikatakan modern, jika ia bersifat rasional, ilmiah dan bersesuaian dengan hukum alam. Seorang muslim meyakini sepenuhnya Islam sebagai way of life, semua nilai dasarnya tercantum dalam al-Qur’an. Sebagai penganut way of life Islam, dengan sendirinya juga menganut cara berpikir Islami. Penilaian terhadap modernisasi juga berorientasi kepada nilai-nilai besar Islam. Dari nilai-nilai itu, Nurcholish menyimpulkan bahwa modernisasi adalah suatu keharusan; malahan kewajiban yang mutlak. Dasar sikap itu bermuara pada beberapa ayat dalam al-Qur’an, misalnya, perintah Allah untuk mengamati dan menelaah hukum-hukum yang ada dalam ciptaan-Nya dengan menggunakan akal pikiran (rasio).[10]
Modernisasi berarti berpikir dan bekerja menurut fitrah atau sunnatullah yang haq (sebab alam adalah haq). Sunnatullah telah mengejewantahkan dirinya dalam hukum alam, sehingga untuk dapat menjadi modern, manusia harus megerti terlebih dahulu hukum yang berlaku dalam alam ini. Pemahaman manusia terhadap hukum-hukum alam melahirkan ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui akal (rasio) nya, sehingga modern berarti ilmiah, yang berarti pula rasional. Dengan begitu, sikap rasional yang dimaksud Nurcholish Madjid adalah memperoleh daya guna yang maksimal untuk memanfaatkan alam ini bagi kehidupan manusia.[11] Meskipun bersikap modern (to be modern) itu suatu keharusan yang mutlak, namun kemodernan (modernity) itu sendiri relatif sifatnya, sebab terikat ruang dan waktu. Sesuatu yang dikatakan sekarang modern,dapat dipastikan kolot (tidak modern lagi) di masa yang akan datang. Yang modern secara mutlak ialah yang benar secara mutlak, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.[12]
3. Hubungan Agama dan Modernisasi
Orang-orang Muslim tidak jarang mengemukakan bahwa agama mereka adalah “sesuai dengan segala macam zaman dan tempat.” Ini dibuktikan antara lain oleh pengamatan bahwa Islam adalah agama yang paling banyak mencakup berbagai ras dan kebangsaan, dengan kawasan pengaruh yang meliputi hampir semua ciri klimatologis dan geografis. Hal yang pertama-pertama menjadi sumber ide tentang universalisme Islam ialah pengertian perkataan “Islam” itu sendiri. Nurcholish dengan mengutip pendapat Ibn Taimiyah mengatakan, “pengertian al-Islam (bahasa Arab) mengandung pengertian al-istislam (sikap berserah diri) dan al-inqiyad (tindak patuh), serta mengandung pula makan perkataan al-ikhlash (tulus). Maka, tidak boleh tidak, dalam Islam harus ada sikap berserah diri kepada Allah yang Maha Esa, dan meninggalkan sikap berserah diri kepada yang lain. Inilah hakekat ucapan kita ‘La ilaha illa Allah.’ Maka, jika seseorang berserah diri kepada Allah dan sekaligus juga kepada selain Allah, dia adalah musyrik.”[13] Oleh karena itu, ditegaskan dalam kitab suci bahwa tugas para rasul atau utusan Allah tidak lain adalah menyampaikan ajaran tentang Tuhan Yang Maha Esa atau Tauhid srta ajaran tentang keharusan manusia tunduk patuh hanya kepada-Nya sebagai konsekuensi dari tauhid murni.[14] Sikap pasrah kepada Tuhan tidak saja merupakan ajaran Tuhan kepada hamba-Nya, tetapi ia diajarkan dengan disangkutkan kepada alam manusia itu sindiri. Dengan ungkapan lain, ia diajarkan sebagai pemenuhan alam manusia, sehingga pertumbuhan perwujudannya pada manusia selalu bersifat dari dalam, tidak tumbuh, apalagi dipaksa dari luar. Sikap keagaman hasil paksaan dari luar adalah tidak autentik, kerena kehilangan dimensinya yang paling mendasar dan mendalam, yaitu kemurnian atau keikhlasan.[15] Oleh karena sikap pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan tuntunan alami manusia, maka keagamaan tanpa sikap pasrah kepada Tuhan adalah tidak sejati. Berdasarkan semua itu maka semua agama yang benar pada hakikatnya adalah al-Islam, yakni semua mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan. Dalam kitab suci berulang kali didapati penegasan bahwa agama para nabi terdahulu sebelum Nabi Muhammad SAW. adalah semuanya al-Islam.[16] Berangkat dari pemahaman tentang istilah al-Islam dalam makna generiknya itu, Nurcholish Madjid dalam memahami konsep ahl al-Kitab mempunyai paham yang unik bagi sebagian orang. Konsep ahl al-Kitab dijadikannya sebagai salah satu tonggak bagi semangat bagi kosmopolitanisme Islam. Menurutnya, ahl al-Kitab bukan saja mencakup kaum Yahudi dan Nasrani, tetapi juga kaum Shabiin, Majusi, Hindu, Budha, Konfusius, dan lain-lain.[17] Pandangan Nurcholish Madjid tentang ahl al-Kitab di atas sebenarnya telah dikemukakan oelh ulama-ulama terdahulu, seperti Abdul Hamid Hakim, seorang tokoh pembaharu dari Padang Panjang, Sumatera Barat; dan sebelumnya, Muhammad Rasyid Ridha, yang tidak asing lagi namanya di dunia Islam.
C. Kesimpulan
Mengacu dari uraian terdahulu dapat ditarik konklusi, sebagai berikut: Pertama, bagi Nurcholish Madjid, modernisasi adalah suatu keharusan untuk tidak mengatakan kewajiban mutlak. Ini berarti, makna modernisasi telah bermuatan teologis, bukan sekedar kenyataan historis. Ia terobsesi untuk menjelaskan kaitan antara cita tauhid di satu sisi; dan persoalan dunia modern di sisi lain. Bila menekankan bagaimana proyeksi dan aktualisasi iman dalam konteks yang relevan dengan semangat modern. Kedua, gagasan modernisasi terkait erat dengan sekularisasi di dalam arti desakralisasi. Sekularisasi bagi Nurcholish Madjid bukanlah berarti melepaskan diri dari agama, tetapi melepaskan diri dari mengkhawarijkan hal-hal yang semestinya duniawi; atau merupakan pembebasan manusia dari kungkungan klutural; atau tradisi; atau pemikiran keagamaan yang membelenggu manusia untuk berpikir kritis. Ketiga, dengan universalisme, Nurcholish Madjid berusaha menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang berwatak kosmopolitan; maka dengan sendirinya dia juga modern. Nurcholish pun menawarkan sebuah formulasi bahwa Islam merupakan agama terbuka yang menolak ekseklusifisme dan absolutisme.
D. Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, apabila ada kekurangan dan kesalahan kami minta maaf serta dengan senang hati kami menerima SMS (saran, masukan dan solusi) yang bersifat konstruktif. Akhir kata, semoga bermanfaat dan menambah khazanah bagi kita semua. Amiien.
Daftar Pustaka
Abdurrahman Mas'ud, et, al, Dinamika Pesantren dan Madrasah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.Harun Nasution, Pebaharuan dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1992.
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Mizan, Bandung, 1995.
Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif: Ceramahceramah di Kampus, Mizan, Bandung, 1994.
Muslim Nurdin, et, al, Moral dan Kognisi Islam, Alfabeta, Bandung, 2001.
Muslim A. Kadir, Ilmu Islam Terapan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
Nurcholis Madjid, Tinjauan Selintas tentang Modernisasi Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1994.
-------------------, Islam Kemodernan, Mizan, Bandung, 1994.
------------------, Islam Agama Kemanusian Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 1995.
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1993.
[1]Harun Nasution, Pebaharuan dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hlm. 11-26
[2]Ibid, hlm. 18.
[3]Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Mizan, Bandung, 1995, hlm. 142.
[4]Abdurrahman Mas'ud, et, al, Dinamika Pesantren dan Madrasah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 41.
[5]Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1993, hlm. 127.
[6]Muslim Nurdin, et, al, Moral dan Kognisi Islam, Alfabeta, Bandung, 2001, hlm. 25.
[7]Muslim A. Kadir, Ilmu Islam Terapan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 45.
[8]Nurcholis Madjid, Tinjauan Selintas tentang Modernisasi Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1994, hlm. 65.
[9]Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 17.
[10]Ibid, hlm. 20.
[11]Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif: Ceramahceramah di Kampus, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 175-177.
[12]Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan..Op. Cit, hlm. 174.
[13]Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusian Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 1995, hlm. xi.
[14]Loc. Cit.
[15]Ibid, hlm, 181.
[16]Ibid, hlm. 472.
[17]Ibid, hlm. 189.
mau pada ngomentari silahkan karena kritik itu membangun.
BalasHapus